Oleh Muhammad 'Ali 'Ishmah Al-Medany
Buletin Al-Manhaj Edisi V/1419 H/1998 M (dengan sedikit koreksi format dan redaksional tanpa mengubah makna)
Dalam memahami makna Darul Islam (negara Islam) terjadi perselisihan di kalangan kelompok-kelompok yang ada sekarang. Maka kita memandang perlu kiranya kita membawakan makna negara Islam yang benar dalam kesempatan ini.
"Para ahli fiqih berselisih dalam kaitan hukum terhadap negara Islam yang mungkin dibawakan secara umum menjadi dua pendapat:
Pendapat pertama: Patokan untuk menghukum sebuah negara adalah dengan realitas hukum yang berlaku di negeri itu.
Pendapat kedua: Patokan hukum terhadap sebuah negara adalah dipandang dari sisi keamanan.
Keterangan dua pendapat ini sebagai berikut:
Penjelasan Pendapat pertama: Jumhur ahli fiqih berpendapat bahwa patokan hukum terhadap sebuah negara apakah dia negara Islam atau negara kufur adalah dengan realitas hukum-hukum yang berlaku di negara itu. Dalam kitab Al Iqna' (dan syarhnya 3/43) didefinisikan tentang Darul Harb (negara kafir yang diperangi) adalah: "Bila hukum kafir yang lebih dominan di situ". Al Kisani (dalam Bada'i'ush Shanai' 7/ 130) berkata: "Tidak ada perselisiahan di kalangan para sahabat kami bahwa negara kufur akan menjadi negara Islam dengan realitas hukum-hukum Islam yang berlaku padanya". Ibnul Qayyim (dalam Ahkamu Ahlidz Dzimmah 1/366) berkata: "Negara Islam adalah tempat yang ditempati kaum muslimin dan berlaku hukum Islam padanya. Dan kalau tidak berlaku hukum Islam padanya, bukanlah sebagai negara Islam walau berdekatan dengan negara Islam."
Dan inilah pendapat jumhur ulama (Fatawa Hindiyyah 2/232, Ahkam Ahlidz Dzimmah 1/ 366). Walau mereka berselisih dalam tafsir "hukum-hukum yang berlaku di negara tersebut" , apakah sisi tindakan pemerintahnya atau rakyatnya, yakni syi'ar-syi'ar yang dhahir seperti shalat dan yang sejenisnya. Ini menurut dua sisi dari mereka dalam defenisinya:
Sisi pertama: yang dimaksud dengan berlakunya hukum-hukum tersebut adalah dari tindak tanduk pemerintah dalam kekuasaan politik, jika kekuasaan politik dipegang oleh kaum muslimin, maka negara itu disebut dengan Darul Islam. Kalau tidak, maka sebaliknya. Dan ini yang dipegangi oleh orangorang Hanafi (Fatawa Hindiyyah 2/232). As Sarkhasi berkata: "Yang menjadi patokan penilaian terhadap sebuah negara adalah penguasa dan kekuatan untuk merealisasikan hukum-hukum negara." (Syarhus Siyar 5/1073) Ibnu Hazm menerangkan alasan ucapan ini dengan: "Karena sebuah negara disandarkan kepada yang menang, yang menjadi penguasa dan yang menjadi rajanya." (Al Muhalla 11/200, 2198)
Dan dengan inilah seluruh ulama yang hidup sekarang memberi fatwa, di antaranya: Syaikh Muhammad bin Ibrahim (Al Fatawa 6/ 166) , Syaikh Abdurrahman As Sa'di (Fatawa As Sa'diyyah hal.98) dan Syaikh Muhammad Rasyid Ridha (Fatawa Muhammad Rasyid Ridha 5/1918). Dan konsekuensi pendapat ini adalah:
"mungkin negara itu adalah negara Islam walau semua penduduknya orang kafir selama penguasanya masih orang Islam dan menghukum dengan hukum Islam."
Sisi kedua: Yang dilihat adalah patokan hukum terhadap negara adalah amalan penduduknya - syi'ar-syi'ar yang tampak di situ- maka jika hukum-hukum Islam seperti shalat tampak dengan jelas, maka negara itu disebut dengan negara Islam, kalau tidak, maka disebut dengan negara kafir. Dengan ini sebagian orang mazhab Hanafi menafsirkan hukum dengan ucapannya: Darul harb (negara yang harus diperangi) akan menjadi negara Islam dengan berlakunya hukum kaum muslimin di situ, seperti mendirikan shalat Jum'at dan Ied-ied, walau orang kafir asli ada di situ. " (Ad Duraarul Hikam 1/259) Sebagian para ahli fiqih berkata: "Darul Islam adalah yang tampak padanya dua kalimat syahadat dan shalat serta tidak tampak padanya bagian kekafiran... kecuali dengan perlindungan atau Ahli dzimmah dan keamanan dari kaum muslimin. Dan darul harb adalah yang kekuasaannya dipegang oleh orang kafir dan kaum muslimin tidak mendapatkan perlindungan." (Uyunul Azhar hal.228)
Dan yang tampak dari ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah adalah sesuai dengan pendapat ini yang mana beliau berkata: "Keadaan negara itu disebut dengan negara kufur, iman atau negara orang-orang fasiq bukanlah suatu sifat yang tetap melekat padanya. Tapi itu hanya sifat yang mendatang tergantung penduduknya. Maka setiap negara yang dihuni oleh kaum mukminin yang bertaqwa adalah negara para wali Allah pada waktu itu. Dan setiap negara yang dihuni oleh orang-orang kafir, maka dia adalah negeri kafir pada waktu itu. Dan setiap negeri yang dihuni oleh orang-orang fasiq, maka dia adalah negara orang fasiq pada waktu itu. Kalau penghuninya selain dari yang kita sebutkan tadi dengan berubah kepada yang lain, maka itu negeri mereka'(Majmu' Fatawa 18/282)
Penjelasan Pendapat kedua: sebagian Hanafiyah berpendapat bahwa kaitan hukum terhadap sebuah negara adalah faktor keamanan. Jika kaum muslimin aman di sebuah negeri, maka negeri itu adalah negeri Islam. Kalau tidak aman, maka negeri itu adalah negeri kafir. As Sarkhasi berkata: "Sesungguhnya negara Islam adalah nama untuk sebuah tempat yang berada di bawah kekuasaan kaum muslimin, tandanya adalah dengan amannya kaum muslimin." (Syarhus Siyar 3/81)
Kesimpulan:
Pendapat yang kuat - wallahu a'lam - adalah: "Sesungguhnya patokan penilaian syari'at Islam terhadap sebuah negara adalah realitas hukum yang berlaku di negara itu, karena hukum-hukum itulah yang membedakan antara negeri Islam atau kafir. Islam dan kekufuran masing-masingnya mempunyai cabang, yang masingmasing cabang itu mempunyai hukum tersendiri, maka apabila berkumpul dalam sebuah negeri kadar tertentu dari cabangcabang Islam dan hukum-hukumnya, maka negeri itu adalah negeri Islam. Dan kalau tidak, maka tidak. Adapun keamanan, itu adalah faktor yang bersifat mendatang sebagai hasil dari hukum yang berlaku, maka dia adalah sifat yang tidak mempengaruhi penilaian terhadap sebuah negara (yakni penilaian apakah negara Islam atau tidak).
Hukum-hukum ini adalah kumpulan dari kondisi rakyat dan penguasa, maka tidak boleh dihukumi sebuah negara sebagai negara Islam atau negara kufur kecuali setelah melihat dua faktor (kondisi rakyat dan pengausa) ini. Bersamaan dengan itu juga mengikut sertakan kaidah-kaidah sebagai berikut:
a. Ketika dikatakan bahwa patokan penilaian terhadap sebuah negara (apakah negara Islam atau negara kufur) adalah realitas hukum Islam yang berlaku, maka bukannya yang dimaksudkan di sini ialah penerapan seluruh hukum Islam tersebut. Karena ini adalah hal yang jarang terjadi dalam sejarah kaum muslimin kecuali di masa Nabi dan para khulafa'ur rasyidin (khalifah-khalifah yang terbimbing). Kemudian secara perlahan hukum itu gugur satu demi satu. Maka tidak ada di suatu negeri atau masa kecuali hukum Islam selalu ada yang gugur.
b.Hukum-hukum yang menjadi patokan penilaian terhadap sebuah negara (apakah dia negaraa islam atau tidak) berbedabeda tingkatannya. yang paling agung di antara hukum yang dijadikan penilaian itu adalah shalat. Dan memang shalat patokan yang paling agung dalam menilai kondisi penguasa, khususnya dalam menilai sebuah negara. Ini dinyatakan dalam beberaapa hadits:
a. Dari Abu Umamah Al Bahili bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Akan lepas tali Islam seutas demi seutas, maka setiap kali terlepas seutas, diikuti oleh manusia. Dan yang pertama kali terlepas adalah hukum dan yang terakhir sekali adalah shalat." (HR. Ahmad 5251)
b. Hadits-hadits yang menyebutkan kebolehan untuk memberontak kepada para pengauasa adalah karena mereka meninggalkan shalat, karena dia (shalat) adalah batas akhir yang menyatakan seseorang itu sebagai muslim.
Dan juga bila tidak ada didengar suara adzan atau tidak didapati masjid, maka itu menjadi tanda bahwa negeri itu adalah negeri kufur. Dan bila didengar adzan dan ditemui masjid dan menjadi lambang negeri itu, maka negeri itu adalah negeri Islam.
Ini dikuatkan dengan beberapa hadits:
Pertama: Dari Anas bin Malik bahwa Rasulullah biasa menyerang musuh di waktu fajar akan terbit sambil mendengarkan dengan seksama suara adzan. Bila beliau mendengar adzan, beliau tidak menyerangnya dan bila tidak mendengarnya beliau menyerangnya." (HR Muslim 1/288)
Imam Nawawi berkata: "Dalam hadits ini ada dalil yang menunjukkan bahwa suara adzan bisa menahan serangan kepada para penduduknya, karena itu tanda kelslaman mereka." (Syarh Muslim 4/84)
Kedua: Dari Isham Al Muzani, ia berkata: Rasulullah bila mengirim pasukan mengatakan: "Bila kalian melihat masjid atau mendengar adzan jangan membunuh seorangpun." (HR. Abu Daud no. 2635 dan Turmudzi no. 1549 Hadits ini di-dha'ifkan Syaikh Al albani dalam Dha'if Sunan Abu Daud no.565)
Imam Asy Syaukani berkata: "Dalam hadits ini ada dalil....dibolehkan nya berhukum dengan tanda dengan alasan bahwa nabi menyuruh untuk tidak menyerang hanya karena mendengar suara adzan." (Nailul Authar 7/278)
Dan beliau berkata lagi: "Dalam hadits ini mengandung perintah untuk mengambil yang paling selamat dalam masalah darah, karena beliau menahan mereka untuk menyerang dalam keadaan itu walau sebenarnya mungkin saja mereka tidak demikian." (Nailul Authar 7/278)
Dan beliau berkata juga: "Dan dalam hadits ini ada dalil bahwa semata mendapati masjid dalam sebuah negeri bisa dijadikan alasan untuk membatalkan penyerangan. Dan bisa menjadi tanda kelslaman penduduknya walau tidak ada didengar adzan di situ.
Karena Nabi memerintahkan pasukannya untuk menahan diri dengan sebab dua hal: adanya masjid dan suara adzan." (Nailul Authar 7/278)
Di sini ada dua titik perhatian:
Pertama: Berdalil dengan dua hadits ini bisa saja dibantah dengan: Tujuan hadits ini hanya untuk menerangkan tentang larangan menyerang sebuah negeri, bukan menerangkan tentang sifat negeri itu. Maka jawabannya: Hukum yang yang membuat negeri itu dilarang untuk diserang, adalah karena sifat negeri itu sendiri. Karena hukum yang membolehkan untuk menyerang penduduk negeri itu adalah karena negerinya negeri kufur. Imam Syafi'i berkata: "Hukum terhadap sebuah negeri adalah unsur yang membuat dia tidak boleh diserang." (Ar Risalah hal. 300)
Kedua: Ini juga bisa dibantah dengan banyak negeri kufur yang ada masjid di situ dan didengar adzan. Jawaban untuk itu adalah: Yang dimaksudkan adalah kalau masjid dan adzan menjadi lambang negara itu. Rasulullah melarang untuk menyerang karena mendengar suara adzan adalah berdasarkan karena beliau bergaul dengan kampung-kampung Arab yang semata mendengar suara adzan sudah cukup untuk menjadi tanda bahwa penduduknya Islam, karena kecilnya kampung dan sedikitnya penduduk. Maka berarti masalah ini adalah masalah yang nisbi, kadang-kadang satu masjid menjadi lambang kelslaman penduduknya. Dan kadang-kadang sepuluh masjid tidak menjadi lambang kelslaman penduduknya.
Misal yang memperjelas adalah:
Prancis, disana dibangun masjid, akan tetapi bukan sebagai lambang negara, maka negara itu adalah negara kufur.
Kaum muslimin di Maroko menegakkan syi'ar-syi'ar Islam dan menjadi lambang negaranya, maka negara itu adalah negara Islam.
Dengan ini menjadi jelas bahwa darul Islam adalah negeri yang hukum-hukum Islam direalisasikan di situ, khususnya shalat. Dan darul Kufr adalah: negeri yang di situ tidak diterapkan padanya lepas hukum-hukum Islam, khususnya shalat.
Dan bukan yang dimaksudkan dengan mendirikan shalat adalah hanya dilakukan segelintir orang, tetapi menjadi amalan penguasa., Nabi berkata: "Tidak boleh memerangi mereka (para pemimpin), selama mereka masih mendirikan shalat bersama kalian" dan " Tidak, selama mereka masih shalat." Ini adalah lafaz-lafaz yang walau dalam masalah khawarij, tapi ada hubungan antara masalah ini dengan masalah sifat negara. Yang mana adanya shalat dalam dua keadaan ini menyebabkan negara itu tidak boleh diserang." (Al Ghuluw fid Diin, Abdurrahman bin Mu'allah Al Luwaihiq hal.330-335) Wallahu A'lam.
0 komentar:
Post a Comment