Rakyat akan berbicara bukan dengan data, tapi dengan rasa. Pernah, dan saya sengaja berusaha untuk merasakannya. Apa dan bagaimana memaknai kemiskinan hanya dengan data dan memaknai kemiskinan dengan data dan hati nurani.
Sebagai mahasiswa yang nantinya akan mendapat gelar sarjana ilmu politik saya memahami dan mengetahui berbagai data tentang serta teori tentang kemiskinan. Baik teori dari barat maupun dari timur. Baik teori yang bersifat sekuler maupun yang bersifat agamis. Saya ketahui karena itu memang keseharian saya dalam proses kuliah. Tapi saya rasa tidak cukup memahami realitas hanya dengan akal atau logika saja. Maka saya mencoba memahami realitas dengan institusi, hati dan perasaan. Sederhana, saya hanya mencoba merasakan lapar dan lelah ketika perut tidak terisi makanan secara rutin dan ketika saya makan, saya memilih makanan yang paling sederhana.
Beda, akal yang berfikir tanpa rasa adalah kering. Akal yang mencari kebijakan tanpa hati nurani adalah zombi. Mereka tak bisa merasakan bagaimana bahagianya ketika lapar dan letih hadir seseorang yang menawarkan makanan. Ada yang membuat kita malu menerimanya, maka kita segan menerimanya. Ada yang membuat kita senang kita menerimanya, maka kita bersyukur dan berterimakasih kepadanya.
Saya tahu, akal memang tidak bisa membuat kemiskinan itu berhenti. Ketika pemerintah ingin menghentikan hubungan dengan IMF atau Bangk Dunia karena dianggap lebih banyak membawa masalah daripada solusi (dengan konsep neolib yang mereka tawarkan). Untuk memutuskan itu, pemerintah perlu keberanian. Dan saya kira mustahil ada keberanian untuk itu, kalau mereka tidak pernah merasakan bagaimana kemiskinan itu. Bagaimana kemiskinan itu kemudian membekas dalam hati nurani mereka. Membuat mereka enggan untuk hidup nikmat. Siapa kiranya yang mau menjadi pemimpin seperti ini ???
Tulisan ini tidak ingin membahas kemiskinan dari segi data-data dan teori. Terlalu banyak tulisan yang telah memuat semua itu. Bukan pula untuk mengangkat emosi sehingga orang bergerak karena merasa belas kasih tapi kemudian risih melihat kemiskinan. Tapi cobalah melihat kemiskinan itu menjadi masalah kita sendiri. Kita adalah orang miskin, kita adalah orang miskin. Maka yang kita lakukan adalah bergerak untuk kemiskinan seperti kita bergerak untuk kita sendiri.
Kita tahu, kemiskinan itu tidak hadir karena mereka yang miskin malas. Tapi kita akan tahu, betapa frustasinya hidup ketika sistem hidup ini membuat kita terpinggirkan. Ketika sistem tidak memberikan peluang, kesempatan dan harapan untuk memberi kita sekedar celah bergerak.
Memang, banyak diantara orang miskin yang hidup di jalanan dan pinggiran sungai merasa nyaman dengan apa yang mereka lalui hari ini. Tapi sadarilah, mereka memilih itu karena mereka mendapatkan kenyamanan dan keteraturan dunia disana ketika dunia semrawut dan saling menerkam. Yaitu ketika dunia membuat mereka harus menjadi srigala atau domba. Mereka tak ingin keduanya, maka mereka memilih keluar dari dunia itu. Hidup dalam dunia mereka sendiri.
Banyak juga yang miskin karena mereka hanya bisa mendapatkan itu dengan kapasitas mereka. Kapasitas mereka hanya cukup untuk membuat mereka miskin. Mereka memang bukan hanya miskin secara harta, tapi miskin motivasi dan kecerdasan. Tapi pernahkah berfikir mengapa mereka seperti itu? Orang menjawab mereka harus sekolah untuk keluar. Sekali lagi, sekolah formal bukan solusi pasti. Cobalah berfikir sebagai orang miskin. Dan berbuatlah untuk mereka. Tentu akan lebih sulit membantu mereka daripada membantu diri sendiri yang sudah mapan. Bagaimana semua ini harus diungkapkan, saya bahkan frustasi untuk menulisnya!
Maka, saya tidak bisa berfikir. Bagaimana pemimpin-pemimpin saya bisa bertubuh gemuk dan subur padahal mereka memikirkan semua ini. Apa yang terjadi dengan dunia ini. Apakah saya yang salah ataukah mereka (para pemimpin) itu yang sudah tidak punya hati nurani. Betapa dunia ini membuat frustasi, apalagi untuk orang-orang yang orang-orang mengatakan mereka orang miskin. Bagaimana mereka melihat dunia ini. Pernahkah semua itu terlintas, ya hanya terlintas sebelum menetap dan menjadi bagian dari diri kita. Cobalah merasakannya.
Kini cobalah dengar tangis itu, dengar hingga gemuruhnya di hati. Kini usaplah deraian air mata, sentuh dinginnya hingga dirasa di hati. Pegang kedua pipinya dengan kedua tangan, redam gemetar gerahamnya, simpan di hati hingga menghancurkannya.
Tak cukup itu ! tatap matanya yang berkaca. Lihat semua gambar yang ada disana. Biarkan mata terus menatapnya hingga buta. Karena setelah itu. Mata tak pernah melihatnya lagi.
Ini hanya sepenggal tulisan. Takkan pernah berarti tanpa usaha. Itulah frustasinya menjadi mahasiswa, baru bisa menulis. Mengapa ? dunia mahasiswa memaksa saya untuk seperti ini. Dan ketahuilah. Orang miskin pun akan berkata. Kami baru bisa miskin. Mengapa ? karena seluruh duni memaksa kami menjadi miskin !
oleh : kikam Zam
1 komentar:
kemiskinan...kemiskinan...
kenapa indonesia trus melanda hal ini
Post a Comment