untuk 10 tahun reformasi dan 100 tahun kebangkitan nasional
10 Tahun Reformasi, 100 tahun Kebangkitan Nasional. Mengapa negeri ini tetap seperti ini. Menjadi ayam yang mati di lumbung padi. Dan menjadi budak di tanah sendiri. Ada yang salah di negeri ini. Korupsi, Mafia peradilan, dan Ketidakberpihakan negara terhadap masyarakatnya. Tapi tidak sekedar itu. Tulisan ini mencoba menjawab secara lebih mengakar. Masalah itu disebut dengan “SEJARAH YANG TERPUTUS”.
Kurang lebih 61 tahun Negara ini sudah merdeka , namun nampaknya selama itu pula Indonesia belum memperlihatkan dirinya seperti apa yang dicita-citakan oleh para pendirinya? Bila bertanya kapan Indonesia mengalami masa keemasan selama 61 tahun ini? Pasti tidak semua sepakat bila itu terjadi saat pemerintahan Orde Lama. Karena meski Indonesia muncul dikancah internasional dengan KAA, GANEFO dan proyek mercusuar lainnya. Tapi selama itu pula Indonesia dililit oleh inflasi hingga mencapai 650% dan otomatis membuat harga barang-barang semakin naik dan akhirnya hanya membuat masyarakat sengsara.
Ada yang berpendapat bahwa zaman keemasaan Indonesia itu saat pemerintahan Orde Baru. Maka tentu banyak yang tidak setuju. Walau harga barang-barang murah tapi itu semua ibarat bom waktu. Laju inflasi Indonesia ditahan oleh hutang luar negeri Indonesia yang semakin hari semakin besar. Hingga akhirnya membawa kepada krisis ekonomi yang berkepanjangan dan ketidak mandirian ekonomi bangsa.
Saat orde baru pemerintah telah menetapkan kebijakan pembangunan yang sangat merugikan wilayah desa. Padahal myoritas penduduk Indonesia tinggal di wilayah desa. Akibatnya, ramai-ramai penduduk desa berurbanisasi ke kota hingga menimbulkan berbagai masalah sosial lainnya.
Saat ini, pasca 10 tahun reformasi, belum bisa disebut sebagai saat keemasan bangsa Indonesia. KKN masih merajalela dimana-mana sama persis dengan pengangguran dan masalah sosial lainnya seperti premanisme, seks bebas dan pemukiman kumuh serta banyaknlainnya. Gejala sekularisme yang mulai merajalela baik di dunia maya (Tv) ataupun di lingkungan masyarakat dan sudah jelas dalam pemerintahan. Seharusnya, sekularisme dibenci oleh Indonesia. Mengapa? Karena penjajahan yang melanda dunia, termasuk Indonesia, diawali oleh penyimpangan dan pemisahan agama dengan proses-proses kenegaraan atau masalah kemasyarakatan dalam negara para penjajah..
Semua itu akhirnya memunculkan sebuah pertanyaan besar dalam benak manusia-manusia Indonesia. Apakah sejarah Indonesia menjawab keinginan Indonesia untuk bisa menjadi gemilang? Namun sejarah Indonesia mengalami keterputusan. Terdapat sebuah mata rantai yang terputus yang karena hal tersebut sampai kapanpun bangsa ini takkan mencapai zaman keemasannya kecuali dengan cara mengubah karakter dan identitas dasar Indonesia dalam kurun waktu ratusan tahun.
Bila dicermati, salah satu indikasi mengapa Indonesia ini harus merdeka, sejarah menjelaskan bahwa siapapun yang kini disebut pahlawan kemerdekaan hampir seluruhnya berjuang dengan pekikan takbir (Allahu Akbar) bukan hanya merdeka merdeka. Perang 10 november di Surabaya, para pejuang tidak hanya meneriakan kata merdeka tapi kata Allahu Akbar. Artinya, ada korelasi yang sangat kuat antara kemerdekaan dengan keagungan kalimat Allahu Akbar. “ungkapan-ungkapan seperti “Allahuakbar”, “La ilaha illallah”, ya Rabbi” dan lain-lain, semuanya itu cukup mempunyai pengaruh yang besar dalam kehidupan seorang Islam, terlepas dari bagaiman miskinnya pengetahuannya tentang perincian ajaran agamanya.” (A. Rahman Zainudin : 1991).
Sama halnya dengan para pejuang yang jauh hidup antara abad 17-19. Pangeran Diponegoro berjuang dengan motivasi yang kuat dari ajaran agamanya, terutama pasca kepulangannya dari ibadah Haji di Makah dan Madinah.Tuanku Imam Bonjol melawan Belanda sebagai ekspresi semangat pembaharuan Islam yang sedang tumbuh dan begitu juga dengan pejuang lainnya . Dan kiranya ditanyakan kepada mereka semua, ”apakah mereka berjuang agar Indonesia merdeka? Tentu perlu kita sangsikan mana jawaban yang benar karena kita tidak pernah tahu akan seperti apa jawaban yang pasti. Dan perlu pula kita tanyakan “Apakah mereka berjuang semata-mata karena kegiatan ekonomi yang terdesak atau ada sebab lainnya?
Kita tidak tahu jika saja Fatahillah sampai saat ini masih hidup, apakah beliau akan setuju dengan berdirinya bangsa ini. Kita pun tidak tahu jika saja Bapak Indonesia, Haji Oemar Said Cokroaminoto masih hidup sampai saat ini apakah beliau akan setuju dengan pendirian Indonesia ini. Kita akan sulit untuk menjawabnya karena selama ini kita tak menemukan atau tidak berusaha mencarinya. Karena memang sejarah itu tidak hanyasebagai disiplin ilmu murni yang harus bersikap objektif dan sesuai fakta, terdapat pula sejarah ideologi dan warisan yang bisa dikontruksi oleh siapapun yang mempunyai kuasa terhadap pengetahuan. Setidaknya itulah yang dulu dan kini telah terjadi. Sejarah itu selalu berada di tangan penguasa.
SEJARAH TERPUTUS
Melihat sejarah pasca Indonesia merdeka, hal terpenting tentang negara ini ialah mengenai dasar Negara. Negara Indonesia setidaknya pernah mempunyai 2 dasar Negara. Yang pertama ialah Piagam Jakarta, dan ia hanya bertahan satu hari saja yaitu dari tanggal 17 –18 Agustus . Dan yang kedua ialah Pancasila yang berlaku hingga sekarang. Bermula dari proses itu, sejarah yang terputus bisa diidentifikasi.
Perubahan Piagam Jakarta ke Pancasila adalah keterputusan sejarah Indonesia yang pertama. Seperti yang dituliskan sejarah, piagam Jakarta ialah sebuah kesepakatan para pemimpin dan pendiri Indonesia mengenai dasar Negara. Piagam Jakarta disyahkan oleh BPUPKI yang didalamnya terdapat tokoh-tokoh pemimpin bangsa Indonesia pada waktu itu yang terdiri dari perwakilan daerah dan dari berbagai tokoh agama, selain para elit partai politik yang waktu itu ada. Perubahan Piagam Jakarta ke Pancasila didorong oleh desakan atau lebih tepatnya ancaman dari Indonesia bagian Timur yang dinyatakan waktu itu mayoritas beragama Kristen. Mereka menyatakan jika saja tujuh kata pada sila pertama ( dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya) tetap tercantum dalam piagam jakarta, maka Indonesia bagian Timur tidak bersedia untuk bergabung dengan Indonesia. Meskipun Piagam Jakarta itu disetujui oleh perwakilan dari agama Kristen,sehingga saat pengesyahan Piagam Jakarta salah satu anggota BPUPKI yang beragama kristen (AA Maramis) berkata “saya setuju 200 %”. Maka wajr untuk bertanya ”mengapa perwakilan Indonesia bagian Timur menolak Piagam Jakarta, ada apa dibalik itu semua?”
Satu mata rantai sejarah terputus dan peristiwa tersebut (persetujuan penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta) disetujui oleh kalangan pemimpin muslim dengan pertimbangan bahwa Indonesia akan melaksanakan Pemilu pada bulan Januari 1946. Sehingga saat itu beberapa dari tokoh Islam yang menyetujui perubahan piagam jakarta yakin jika Pemilu dilaksanakan pada Januari 1946, pasti rakyat akan memilih partai Islam yang otomatis akan menuangkan kembali ketujuh kata tersebut.
Tapi pemilu tersebut tidak terlaksana karena perang Revolusi sedang terjadi di Indonesia. Hal ini telah memutuskan mata rantai untuk kedua kalinya.
September 1955, Indonesia menyelenggarakan Pemilu yang memilih DPR dan Dewan Konstitunte. Dewan Konstituante adalah sebuah badan yang berfungsi untuk merumuskan dasar Negara dan UUD. Namun, sampai 2 tahun bekerjanya, dewan ini belum bisa merumuskan dasar Negara.
Hingga akhirnya, kondisi tersebut menyebabkan keluarnya Dekrit Presiden 29 Juli 1959 oleh Presiden Soekarno yang menyatakan kembali ke UUD 1945. Dekrit tersebut dilandasi oleh UU keadaan gawat Negara. Meskipun dalam isi pidato Soekarno mengenai dekrit 5 juli dinyatakan piagam jakarta menjiwai pancasila. Dalam pelaksanaannya piagam jakarta tidak pernah menjiwai apapun selain hanya sebagai lintasan sejarah yang melegitimasi saja. Nasakom mungkin dimaknai Soekarno sebagai ajaran yang dijiwai oleh piagam jakarta. Tapi para pemimpin muslim, itu adalah tindakan pengkhianatan. Itu adalah mata rantai sejarah ketiga yang terputus yang kemudian disusul dengan pembubaran partai Masyumi yang merupakan wadah politik umat Islam. Dan mencuatnya NASAKOM yang didukung oleh 3 partai besar yaitu PNI, PKI dan NU.
Dalam ketatanegaraan Indonesia itu dianggap sebagai dinamika politik. Tapi jika dilihat dari kerangka sejarah yang mana harus ada keterikatan perjuangan antara apa yang dahulu dihendaki oleh para pejuang kemerdekaan (para pejuang sebelum Indonesia berdiri) dan maksud dari para pendiri bangsa mendirikan Bangsa Indonesia ini. Maka kita telah mengalami masa gelap dalam sejarah. Hari ini kita bertanya siapakah pendiri Indonesia itu, apakah ia Soekarno yang mengeluarkan dekrit President.
Seharusnya kita bertanya “mengapa dekrit itu bisa dilegitimasi padahal kita tahu bahwa bangsa ini terkenal dengan sikap musyawarahnya?” Atau sebenarnya itu (sikap mengutamakan musyawarah yang dimiliki bangsa Indonesia) adalah keliru, karena peristiwa dekrit itu telah mengisyaratkan terjadinya pemaksaan atas pendapat dan keputusan bangsa. Dan kiranya itu benar,”pernahkah bangsa ini memutuskan sesuatu yang sangat penting melalui musyawarah? Sebagaimana juga peristiwa perubahan Piagam Jakarta dan Dekrit Presiden 29 Juli 1959 yang tidak melalui musyawarah?”
Sudah 61 tahun bangsa ini berdiri para pendiri bangsa kita sudah wafat dan tak bisa ikut kembali dalam menentukan perjalanan bangsa ini. Pemilu, sebagai penentu perjalanan bangsa ini tak bisa menjadi tolak ukur yang Valid bagi konsensus bangsa. Pemilu 1971 sampai pemilu tahun 1997 telah terjadi banyak penyimpangan. Rakyat dimobilisasi paksa untuk memenuhi keinginan penguasa pada waktu itu. Rakyat ditekan dan diintimidasi, dan rakyat mau tidak mau harus berkehendak dan berkeinginan sesuai dengan kehendak dan keinginan penguasa. Sehingga saat itu sulit untuk menemukan bukti bahwa bangsa ini adalah bangsa yang saling menghormati dan menghargai pendapat.
Lalu pemilu tahun 1999 yang dikatakan sudah JURDIL dan LUBER tak bisa mempresentasikan keinginan para pendiri bangsa ini serta rakyat yang dulunya berjuang untuk memerdekakan Indonesia. Di tahun 1999 rakyat telah melalui transformasi yang sangat hebat. Telah terjadi perubahan nilai akibat dari proses globalisasi dan kemajuan media Informasi yang menyebabkan terjadinya cultural lag, dimana nilai-nilai berubah sedemikian rupa dan sangat tak terkira. Rakyat telah dididik oleh suatu rezim yang memutuskan mata sejarah Indonesia. Sehingga sangat sulit dikatakan bahwa bapak-bapak atau kakek mereka (yang tahun 1999 menconblos) yang dulu berjuang mempunyai suara yang sama seperti anak atau cucunya yang ditahun 1999 mengikuti pemilihan umum.
Hingga akhirnya kitapun harus bertanya
“Siapakah pendiri Indonesia ini?”
Inilah permasalahan paling mendasar bangsa ini. Maka apapun itu ekspresi problem yang mucul (KKN, Mafia Peradilan, Ketidakberpihakan sistem pada rakyat kecil) itu hanyalah masalah akibat. Sedangkan masalah sebabnya, tulisan ini mendefinisikannya sebagai SEJARAH YANG TERPUTUS. Maka siapakah yang akan mengikatnya kembali ? mungkinkah anda?
*ditulis untuk pertemuan Forum Penulis hari Sabtu 18 Desember 2004 di SMAN 1 Tasikmalaya.
Dengan beberapa tambahan tanpa merubah inti dari tulisannya.
Oleh kikam zam
0 komentar:
Post a Comment