Indonesia, kini sudah tidak lagi menjadi pengekspor minyak. Tapi kini menjadi pengekspor sekaligus sebagai pengimpor BBM. Inilah yang menyebabkan ricuh didalam negeri tentang BBM. Mengapa ? karena APBN Indonesia yang tidak sebanding dengan kekayaan negerinya itu harus menyesuaikan dengan kenaikan harga BBM di dunia. Karena apabila BBM tidak dinaikan, berarti subsidi BBM dalam anggaran akan membengkak. Maka subsidi harus ditarik dengan menaikanharga BBM. Dan sebagai gantinya, maka masyarakat yang paling rentan dengan kebijakan ini akan diberikan BLT (Bantuan Langsung Tunai).
Sebuah pertanyaan yang menggiurkan untuk kita telusuri. Mengapa negeri kaya ini bisa seperti ini? Amien Rais mengatakan karena negeri ini salah urus. Benarkah itu? Melalui contoh kasus BBM ini mungkin bisa ditelusuri secara lebih mendalam.
1. “Kebodohan Pemerintah” yang terpilih.
Dalam sebuah negeri, belum tentu makmur meski hidup didalam surga. Tidak jauh-jauh, Indonesia adalah contohnya. Mungkin sebagian orang merasakan Indonesia sebagai surga, terutama oleh orang kaya yang bisa membeli harga BBM dengan harga murah. Termasuk harga BBM yang naik jadi Rp.6.500,- pun masih murah bagi mereka. Betapa tidak, apabila mereka pergi ke Singapura untuk belanja atau rekreasi, mereka membeli bensin Rp. 15.000,-. Artinya uang enam ribu lima ratus tidak lebih mahal dari lima beras ribu rupiah. Lebih murah dua kali lipat lebih.
Tapi, bagi orang miskin, Indonesia adalah sangkar emas. Sebagus bagusnya sangkar yang terbuat dari emas, orang miskin tetap hanya menjadi burung yang terkurung untuk menyenangkan pemiliknya. Ingatlah, mereka menjadi alat produksi yang murah yang dijual negara kepada kapitalis internasional. Mereka juga dididik menjadi orang lain, yakni menjadi orang yang harus tunduk kepada dunia yang tidak adil. Mereka dididik untuk menjadi pegawai, pekerja, pencari uang. Padahal dari sejak lahir mereka adalah hamba Tuhan yang tidak bisa dinilai dengan uang. Sungguh, orang miskin dan orang kaya dalam kondisi ini sama-sama hidup dalam sangkar emas. Burung yang berharga bagi pemiliknya.
Seorang Ibu pernah berkata kepada anaknya, “jika kamu punya uang, maka apapun bisa kamu beli” lalu Ibu berkata kembali “barang yang mahal pun bisa dibeli”. Apakah artinya itu terhadap kenaikan harga BBM? Artinya, yang paling penting itu bukan berapa harga BBM,murah atau mahalnya harga BBM, tapi yang paling penting itu adalah apakah BBM itu bisa dibeli atau tidak. Kalaupun BBM mahal, misalnya seharga tiga puluh ribu rupiah, kalau bisa dibeli oleh masyarakat maka itu tidak menjadi masalah. Tapi yang jadi masalah sekarang ialah meskipun harga BBM di Indonesia itu sudah lebih murah dibandingkan negara lain, tapi harga yang murah itu tidak bisa dibeli oleh masyarakat. Disinilah letak masalahnya.
Jadi mungkin kalau demonstran mau demo tentang kebijakan pemerintah, yang lebih cerdas itu bukan menolak kenaikan harga BBM. Tapi mengingatkan pemerintah bahwa mereka mempunyai kewajiban untuk menyebarkan harta kepada masyarakat. Sehingga berapa pun harganya, yang penting bisa dibeli. Dan tentu bukan hanya BBM, memangnya manusia hanya hidup dengan BBM.
Disinilah sebenarnya letak ”kebodohan pemerintah”. Mungkin pemerintah sedang lupa bahwa mereka mempunyai kewajiban untuk menyebarkan harta kepada seluruh rakyat sesuai dengan amanah UUD 45, yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Bukan hanya itu, pemerintah pun mungkin sedang lupa bahwa mereka punya kewajiban untuk memerintah dengan adil. (Dan kalau kita merujuk pada perkataannya Umar R.A masih ada satu kewajiban pemerintah, yaitu menegakan solat. Tapi pemerintah Indonesia berbeda dengan pemerintahan Umar R.A. Umar adalah sahabat nabi yang mengharapkan pertolongan Allah, sedangkan pemerintah Indonesia adalah kabinet sekuler yang mengharap pertolongan bantuan Asing.MUNGKIN).
Lihatlah bentuk kebodohan tersebut di Jakarta yang kini dipenuhi oleh berbagai patung. Ada Patung Sudirman, Gadjah Mada, Soekarno, Hatta dan patung-patung lainnya. Patung Sudirman harganya Rp. 10.000.000.000,- (sepuluh miliar). Harga patung lainnya empat belas miliar. Patung lainnya sekian miliar dan lainnya sekian miliar. Apakah ini artinya ? bukankah ini ”kebodohan” yang sesungguhnya karena sebenarnya rakyat miskin yang lapar itu tidak kenyang dengan melihat patung tersebut. Anak kelas satu SD pun tidak akan lebih ”bodoh” dari itu.
Bentuk ”kebodohan” lainya terlihat dari data statistik yang menunjukan bahwa angka orang kaya semakin banyak tapi di satu sisi angka orang miskin juga semakin banyak. Data Statistik tersebut terlihat dari fenomena pembanghunan di Indonesia. Di Jakarta, rawa-rawa dijadikan pusat pemukiman mewah dengan harga satu unit rumahnya seharga miliaran rupiah. Tapi imbasnya Jakarta menjadi semakin rentan banjir. Dan yang lebih rentan terhadap banjir ini adalah orang miskin atau orang yang sedikit berada di atas kemiskinan. Sedangkan orang miskin menderita karena banjir, orang kaya menikmati hunian mewah yang mampu mereka beli. Disini, fakta statistik yang mengatakan orang kaya semakin banyak dan orang miskin semakin banyak terbukti secara akurat. Begitu pula dengan fenomena pemancangan banyak menara pencakar langit apatemen mewah di kota-kota besar.
Contoh lainnya adalah tentang perbedaan antara nasib petani dengan nasib para bankir. Apabila para bankir yang bermasalah dengan bank yang mereka punya diberikan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia dengan total bantuan puluhan bahkan ratusan triliun. Para petani untuk membeli lima liter bensin di SPBU dengan dirigen dipaksa diusir, tidak bisa membeli sekedar untuk mengisi traktor mereka. Bila para bankir bermasalah diuntungkan dengan kebijakan pemerintah yang meloloskan/memutihkan hutang mereka yang berjumlah triliunan rupiah. Maka para petani dirugikan dengan kebijakan pemerintah yang mereka pilih sendiri.
Disinilah, letak masalah yang sesungguhnya dari kenaikan harga BBM itu. Bukan mahalnya harga. Tapi apakah masyarakat bisa membelinya atau tidak. Seperti pula berharganya emas itu bukan karena emas tersebut. Tapi karena apa yang bisa diberikan emas tersebut. Emas tidak lebih berharga dari sebotol air segar bagi seorang pengembara yang tersesat di gurun pasir.
Maka yang harus diberlakukan adalah membagikan harta, meratakan kesejahteraan dan pembangunan, menciptakan keadilan sistem bagi seluruh lapisan masyarakat. Baik yang kaya maupun yang miskin. Miskin, tidak masalah andaikan semua kebutuhan pokok bisa didapatkan, yaitu pendidikan, pangan, sandang, dan papan, termasuk juga kesehatan.
Itulah makna ”kebodohan pemerintah” yang terpilih. ”Sebodoh” apapun itu, pemerintah itulah yang sudah terpilih. Tapi, mengapa pemerintah bisa menjadi ”bodoh” seperti itu. Mungkin rumit untuk menjelaskannya. Tapi mungkin, kata neo-imperialisme bisa menjadi pendekatan untuk menjelaskannya.
2. Neo Imperialisme
Mungkin orang miskin merasa menjadi korban atas kebijakan pemerintah mereka sendiri. Tapi pernahkah berfikir bahwa pemerintah tersebut pun merasa dirinya menjadi korban. Inilah maksud paling utama dari Neo-Imperialisme. Dan realitasnya sama, antara orang miskin dan pemerintah tersebut. Apabila orang miskin tidak sadar bahwa mereka adalah korban dari kebijakan pemerintah sehingga banyak LSM yang mencoba melakukan upaya penyadaran tersebut. Sebenarnya, pemerintah pun tidak sadar bahwa mereka adalah korban dari sesuatu yang disebut neo-imperialisme. Tapi masalahnya, siapakah yang akan menyadarkan pemerintah? Apakah pemerintah tidak akan tersinggung bila disadarkan orang yang diperintahnya. Terlebih oleh orang kecil yang lemah dan tidak mempunyai kekuasaan (termasuk senjata dan kekerasan).
Perhatikan, pemerintah mengatakan bahwa pilihan BBM naik adalah pilihan terakhir yang diambil setelah solusi yang bersifat domestik tidak bisa dilakukan. Artinya, pemerintah melakukan ini semua terpaksa, meskipun sebenarnya pemerintah tidak meinginkan kebijakan ini. Meskipun dahulu pemerintah pernah berjanji untuk tidak melakukan kenaikan kembali harga BBM, tapi hari ini, seolah pemerintah meminta pengertian dari masyarakat bahwa apa yang dilakukannya adalah terpaksa. Untuk hal itu SBY bahkan harus menjelaskannya melalui media masa.
Dalam kondisi tersebut, pemerintah telah dihegemoni oleh praktek neo-imperialisme negara maju kepada negara berkembang, yaitu Indonesia. Neo-imperialisme adalah sebentuk penjajahan yang baru dalam bentuknya tapi tetap sama dalam mekanismenya. Pada dasarnya, neo-imperialisme adalah kelanjutan dari penjajahan negara barat yang maju kepada negara dunia ketiga.
Apabila sebelum perang dunia ke dua yang membawa malu bagi dunia Eropa. Yakni karena mereka sebagai bangsa penjajah harus dijajah oleh bangsa Eropa lainnya, sehingga membuat antipati terhadap praktek penjajah dengan model kekerasan dan penguasaan kekuasaan politik di negeri jajahan. Maka setelah itu, berturut-turutlah penjajahan di dunia timur dilepaskan oleh negeri penjajah. Namun, pada dasarnya negara penjajah tidak mempunyai niat yang sungguh-sungguh untuk melepaskannya (lihat buku tentang kemiskinan di dunia ketiga). Mereka hanya mencari bentuk baru yang lebih halus dan lebih “beradab” untuk melakukan penjajahan, atau mereka haluskan dengan sebuah kata tipuan “civilization”
Apabila imperialisme sebelum perang dunia kedua di Indonesia dilaksanakan melalui pemerintahan Kolonial Belanda di Hindia Belanda yang berkuasa terhadap rakyat melalui penguasa lokal (seperti sultan, raja, bupati atau yang lainnya) yang tunduk pada mereka. Maka di dalam neo-imperialisme penjajahan negara penjajah itu dilakukan secara canggih melalui pemerintahan yang secara sah berkuasa di Indnesia. Negara penjajah kemudian membuat tunduk pemerintah tersebut secara terpaksa atau tidak terpaksa, sadar atau tidak sadar, untuk mengikuti keinginan mereka. Mereka (para negeri penjajah) itu melakukannya melalui tekanan UU atau regulasi internasional, baik yang berupa konvensi ataupun perjanjian.
Selain itu cara yang paling efektif untuk melakukan neo-imperialisme adalah dengan menciptakan sebuah pasar yang menguntungkan mereka. Pasar tersebut memaksa setiap negara untuk masuk ke dalamnya meskipun persaingan yang terjadi disana sangat bebas seperti layaknya aturan di dalam hutan rimba. Siapa yang kuat dia yang menang. Siapa yang buas dia menerkam yang jinak. Namun, aturan tersebut dibungkus secara rapi dan tersamar oleh berbagai teori ekonomi yang seolah-olah sangat hebat untuk menciptakan kesejahteraan di dunia. Salah satu teorinya mengatakan bahwa apabila pasar efektif, maka itu akan menciptakan sebuah keuntungan yang paling besar, akumulasi modal, sehingga akhirnya akan menciptakan kemakmuran di dunia karena produksi barang meningkat dan terus ditemukan sumber serta inovasi yang baru.
Namun teori tersebut lupa, bahwa manusia itu (bisa) lebih serakah daripada hewan yang paling serakah di dunia. Faktanya adalah bahwa beberapa perusahaan internasional (multi nasional corporation) memiliki aset dan keuntungan setiap tahun yang melebihi puluhan anggaran negara-negara miskin di dunia. Artinya, kekayaan satu orang, bisa menyaingi anggaran satu tahun sebuah negara. Artinya, walaupun produksi lebih banyak, kemakmuran semakin terwujud, tapi hanya dinikmati tidak lebih oleh dua puluh persen masyarakat dunia. Dan dari dua puluh persen itu, hanya beberapa persen dari angka 20 itu menguasai sebagian besar kepemilikan kekayaan.
Akhirnya, sampai pada sebuah pandangan bahwa apa yang terjadi dalam kenaikan BBM dan menjadi masalah adalah bagian yang tidak terpisahkan dari sistem dunia saat ini yang menghegemoni dunia. Dan yang bisa dilakukan oleh orang kecil yang lemah dan tidak mempunyai kekuasaan (termasuk militer dan kekerasan) adalah dengan menulis dan menulis. Terlebih bagi seorang hamba Allah, semuanya kembali dengan pengaduan kepada raja semua raja, penguasa semua penguasa, Allah SWT. Ketika hanya menulis yang bisa dilakukan, apalagi yang harus dilakukan ?
Oleh Kikam Zam